Edisi 8
Cilegon : Seperti Tak Ingin Aku Beranjak
Matahari menyengat di ubunubun. Kaki terus melangkah
Masuk ke tembok tua. Melata di tanah lapang yang gersang
Di tiangtiang kuburan Belanda yang runtuh. Kumuh berdebu
Di Benteng Spelwijk ini membaca bukti sejarah
Kejayaan Belanda yang porakporanda
Pada sebuah danau Tasikkardi. Kubasuh mata kubasuh tubuh
Sepanjang permukaan danau yang kemilau. Kulabuh tubuh
Di tubuh angsa berenang menyisir wajah danau
Kupetik sekuntum teratai suntingan buat kekasih
Sepanjang jalan menuju perkampungan santri
Mengalun Terbang Gede mengajak kita menari
Debus seni yang magis dan Patingtung para pendekar
Di dalam kehidupan budaya di kota ini masih lestari
Cilegon, 2014
131
Kuasapkan Kemenyan Saat Balian Mati
Kuasapkan kemenyan di tato sekujur tubuh digerincing
gelang bawo di kalanye di karaben
di batubatu di bukitbukit di riamriam di guagua
di lembahlembah di guntungguntung sampai kepuncakpuncak
gunung
Aku asapkan di ubunubun damang yang kehabisan darah di
balai yang terbelah
Aku asapkan di rumah kehilangan rimba
di kubur kehidupan di mata yang menahan airmata
Kuasapkan kemenyan tersebab jantung Kalimantanku lemah
berdenyut
Digemuruh mesin gergaji membabat hutan digemuruh
pengangkut batubara pengangkut kelapa sawit
Aku asapkan di ruh nenek moyang yang dibantai investor
asing,kavitalis, pejabat laknat
Aku asapkan yang mengalir dari hatinurani kami
Agar kau memahami tumpah darah kami
Agar kau memahami arti
kelestarian pegunungan meratus
Hutan rimba dijarah menjadi padang anaksima
Gunung batubara runtuh menjadi danau kubangan bumburaya
Meranti, lanan, ulin, para dijajah kelapa sawit menjadi
halimatak
Dayak terperangkap dalam perangkap kabibitak
Kuasapkan kesabaran menyusur akar kariwaya sampai pada
mata damak batang tubuh Mandau parang bungkul parang maya tersebab talimbaran
pasti ada putingnya
Dangsanak kuasapkan kemenyan lantaran balian kami telah
mati
Banjarbaru, 2014
132
Bunga Sedap Malam
Masih ingatkah, katanya, lalu menyebutkan nama
Saat di Rumah Budaya Kalimasada cuma menatap harap
Dan di Istana Gebang Blitar malam itu jadi berdua
Entahlah
Tapi aku melihat sebuah wajah di bunga sedap malam
Sepasang bola mata menetes di kelopaknya
Menetes bening di hatiku
Blitar,2014
133
Gunung Kelud : Negri Yang Malang
Karena menistakan kejujuran
Memberhalakan kebohongan
Terjadi bencana dan malapetaka
Berimbas pada orang yang tak berdosa
Negri ini apakah serupa riwayat Gunung Kelud
Orangorang seperti Dewi Kilisuci menyembunyikan janji
dan sumpahnya di balik singgasana jabatannya
Hingga Lembu Suro dan Mahesa Suro murka
Gunung Kelud di tanggal 14 Februari 2014 erupsi
Malam Kamis bencana yang kesekian kalinya
Tetapi adakah orangorang becermin pada malapetaka itu
Selain merundung nasib
Orang melupa
Kejujuran yang dinista
Negri yang malang
Kediri, 2014
134
Daun Jendela
Mentari senja
Lenyap pandangan mata
Hanya gulita
Membayangkan jendela ini tanpa berdaun jendela
Tak cukup kata kata selain merenung
Masuk ke dalam jiwa
Ke dalam diri yang fana
Kamar kehidupan
Kamar kematian
Hidup kehilangan warna
Kehilangan makna
Kala merenung
Pekat depan jendela
Sonder berdaun
Membayangkan jendela ini tanpa berdaun jendela
Jendela hati
Membayangkan apakah akan dapat bercinta lagi
Kekasih :
Menggali cinta
Sampai ke batas fajar
Penghuni jiwa
Banjarbaru,2014
135
Di Puncak Gunung Tidar
Kitab kitab suci yang disucikan itu
Tak perlu lagi sebagai landasan hidup dan kehidupan
Sebab dari jaman peradaban keperadaban
Manusia lebih pandai membuat kitab undang undang
Kesadaran sengaja di bunuh
Sebab pikiran nafsu pada artokumulus
Tuhan diasingkan atau pun dipenjarakan
Sebab tujuan adalah berhala
Semesta bergoncang
Karena sengketa manusia tak pernah usai usai
Apa yang kau cari pada derita dan sengsara
Semata pikiran nafsu yang melata
Kusenyawakan tubuhku pada puncak Gunung Tidar
Dan beringin tiga ratus tahun rumah ruhku
Tak ada lagi sengketa dalam pikiran nafsu
Semata nikmat hakikat cinta
Magelang, 2014
136
( Suatu Malam. Kutulis Haiku )
1.
Hanyalah satu
Walau seribu nama
Jalan membentang
2.
Di mana bulan
Jatuh di sudut malam
Lantera wajah
3.
Di tirai malam
Melukis kunang kunang
Sketsa semesta
4.
Jalan membentang
Lantera wajah jiwa
Semesta cinta
5.
Sketsa semesta
Adakah kau di sana
Lelawa terbang
Semarang, 2014
137
Lakum Dinukum Waliyadin
Sepanjang peradaban manusia dari poros bumi yang berputar
Perjalanan dari kutub ke kutub
Tapi manusia itu telah mengingkari dirinya
Agama cuma di luar perilaku hidup dan kehidupannya
Hanyalah kebanggan serakah dan kebencian
Dan jika mereka menegakkan keadilan
Niscaya tidak akan saling berseteru
Semesta bergoncang
Lalu berkali kali kerukunan umat beragama itu dibahasakan
Di tengah tengah hiruk pikuknya ideologisme
Lalu bertasamuh dan bermuamalah
Namun pemahaman itu bersimpang jalan dari kebenaran
Dan kami sesungguhnya bukan golongan mereka
Telah kami tanamkan aya tayat teologi
jauh dikedalaman kemurnian umat beragama itu
sepanjang peradaban manusia
Lalu apa yang kau cari kaum sekularis, sinkretis, zionis,
pluralis
Selain mungkir
Sebab dari satu titik ke titik yang lain hanyalah
garis lingkaran
Tidakkah semua itu hanyalah pendustaan
Jika ideologimu jujur dan terbuka
Maka damailah di bumi damailah di langit
Banjarbaru, 2014
138
Kemunafikan
Tumpukan utang tak pernah terlunasi
Janji memang tipu muslihat
Suara suara yang kau pungut adalah kuitansi kosong
Untuk dimanipulasi
Jabatan yang diberhalakan
Berhala setiap tindakan dan perbuatan
Apa yang kau banggakan di mata tuhan
Selain kemunafikan
Banjarbaru,2014
139
Kasih Sayang Dan Cinta
Begitu hakikinya kasih sayang.
Tapi adakah orang menyelami sampai ke dasarnya
Lalu bersyukur atas nikmat itu
Jika kita mendaki imprerium cinta
Sampai ke kulminasi
Niscaya kau tak akan mendustakan ayat ayat itu
Sebab kasih sayang adalah inti dari cinta
Banjarbaru, 2014
140
Di Kota Tua
Saat kutarik gorden jendela pagi itu
Sekuntum mawar tumbuh di kaca jendela
Hatiku jatuh di seraut wajah
Entah apa gerangan tadi malam
Aku gagal menafsir mimpi
Tubuhku jatuh di sebuah sungai
Hanyut dan tenggelam
Kuusap bias gerimis rabun di kaca
Satu per satu kelopaknya lepas
Luruh di mataku luruh
Dan tinggal ranting semata
Pagi itu kembali aku menafsir mimpi
Sambil kupunguti kelopak hatiku
Yang berserakan di ubin lantai :
Kau kah yang membangkitkan kenangan dan rindu
Jakarta, 2014
141
Robohnya Panggung MGR
Banjarbaru jangan kau risau
Sebab puisi tak pernah roboh
melahirkan cinta dan kesetiaan
Jika MGR yang roboh
Hanyalah fatamorgana yang roboh
Mestikah risau, sayang
Bb,2014
Catatan :
MGR = Minggu Raya
142
Dalam Sujudku
Kunyalakan api tasbih membakar jasadku hangus
Kalbuku lelatu meletupletup zikir menyebut asmamu
Hu Allah
Malam tak lah lagi malam pun siang tak lah lagi siang
Hu Allah
Luluh jadi asap doa di tujuh lapis langit di tujuh
lapis bumi
Hu Allah
Aku anak Adam yang tersesat menuju rumahmu
Hu Allah
Di pintu kun payakunmu ruhku sujud mengetuk alifmu
Hu Allah
Allah
Maha benar segala firmanmu
Bbaru, 2014
143
Di Gunung Muria
Orang berjenggot tafakur pada sebuah nisan
Semilir angin aroma kembang di malam hening
Masuk ke dalam altar kehidupan hakiki
Melepas segala yang fana
Di ketinggian jiwa
Melayang zikir batu tasbih
Puncak Gunung Muria
Bertabur ayatayat bintang
Hu Allah aku bersimpuh
Aku sebesar debu tanah Gunung Muria
Di bawah bulan saat gerhana
Tak kuhapus air mata
Karna belum habis firmanmu kubaca
Batu nisan di mana alamatmu
Aku nanti akan ke haribaanmu
Kudus, 2015
144
Montel : Gemuruh Zikir
Duduk semadi
Di dalam air Montel
Menyuci diri
Kusenyawakan jiwa pada tebing batu
Pada air yang terjun dalam hening semesta
Jatuh ke batu batu
Darah nadiku mengalir dialir air
Nafasku mengalun didesir angin Muria
Air berzikir di batu batu
Tubuh mandi gemuruh zikir
Mencuci sekalian fana sekalian yang alpa
Menyejukkan jiwa
Kudus, 2015
145.
Perempuan Hakikat Cinta
Adakah hakiki perempuan di hatimu, hai pulan
Perempuan adalah mata air yang mengalirkan cinta
Adakah kau tempatkan di kalbumu
Maka jangan kau nistakan
Dua ratus tahun lamanya
Adam kehilangan tulang rusuknya
Dari kutub ke kutub dari benua ke benua
Memanggil manggil : Hawa.Hawa
Sampai ke Jabal
Rahmah
Apa pun perempuan itu
Karena air matanya adalah alir cintanya
Dengar sedu sedan bongkahan batu
Karena menistakan perempuan
Di dalam sujud
Ijinkan aku mencium ujung tapak kakimu ibu
Karena sembilan bulan sembilan hari mengandung anakmu
Karena bahasa anakmu yang tiada santun
Ijinkan aku mencium sebutir debu di atas pusaramu ibu
Amin
Semarang, 2015
146.
Kakek Tua Penjual Sisir Rambut
Perjanjian sewaktu segumpal darah
Maka pada saat itulah takdir pada seseorang
Dan pada hakikatnya hidup menjalani kehidupan ini
Pada jati diri, tawakal, ikhtiar dan doa
Di emper sebuah toko besar dari deretan toko
Kota yang hirup pikuk dengan berbagai keperluannya
Seorang kakek tua menggelar dagangannya
Menjual beberapa buah sisir rambut
Tentu akan terenyuh
Jika memperhatihan apa yang dijualnya
Dalam beberapa waktu menunggu dagangannya
Berapa sisirkah yang terjual
Sementara orang berlalu lalang melintas di hadapannya
Dan jika kita merenung
Niat berniaga yang iklas dan ridho
Nilai satu rupiah sama nilainya dengan seribu rupiah
Sungguh Allah maha kasih sayang
Malang, 2015
147.
Ketika Kerinduan di Jendela Kamar Pagi
: Endang Kalimasada
Di antara sesajian di atas meja bermacam ragam
Entah apa aku memilih kuliner ini
Sedikit dicoba. Ajaib.
Satu piring penuh kusikat tanpa menghiraukan yang lain
Bersisa sedikit
Kuamati dan merenung
Melayang ke Borneo Selatan :
Bulanak haruankah ini ?
Kuliner ini dimasak dengan tepung
Sambal pemikat selera
sebagai cecapan
Dan sesayuran sebagai asisoris lauk
Ah bukan bulanak haruan aku bergumam
Masih jadi tanda tanya dalam kepingin
Tapi enggan bertanya pada teman seantero nusantara
yang menyatu di rumah Budaya Kalimasada dalam sebuah
kenduri seni
Duduk di bawah pohon duduk merenung dan masih bergumam
Ucenglap ucenglap abahabah een een olaholah
Seraya menengok ke atas sangkar yang tergantung di pohon
Seekor beo kepala
mengangguk angguk padaku
Temanteman pada heran aku mengakak sendiri
Jelas ini masalahku yang sudah tuntas
Waktu pamitan seorang wanita berjilbab merah jambu di
pintu gerbang
Senyum yang mekar
bibir bergayut kembang Angsoka
Masih kudengar di ujung jalan celoteh sang beo : Uceng
lalapan.
Blitar-Bbaru, 2015
148
Kamar 016
Maka kubaringkan tubuh
Agar tak ada lagi beban dari seraut wajah yang tersesat
dari malam
Mata berupaya melukis bulan di langit langit kamar
Sebab cahaya lampu merah legam menetes netes di ubin
lantai
Menetes netes ke denyut nadi serupa kelepak sayap laron
mencari cahaya
Deru mesin bus berlalu lalang, silih berganti, muncrat di
alir darah
Bungurasih disergap bayang entah perempuan malam atau
perempuan pemulung
Mata nyanyar di langit langit kamar
Bulan
Pengen sekali cepat berbulan
Di ranjang, tubuh, pakaian yang dilucuti, seperti orok
Menatap langit langit kamar
Bulan
Entah apa
Aku mau tak mau harus terenyuh merasakan tubuh kaya
begitu
Tubuh yang kucarkacir di seraut wajah yang tersesat dari
malam
Dan sampai tiba azan subuh dan nun di timur warna merah
Kau beruntung sempat berucap : Syukur masih ada tuhan
Surabaya, 2015
149.
Sebuah Danau : Dendam Tak Sudah
Adalah cinta
Di danau air mata
Dendam tak sudah
Mataku berenang di wajah sebuah danau
Membaca riwayat yang terpendam dikedalaman airnya
Dikedalaman air mata cinta
Dendam tak sudah demikian gemercik riak ombak
Cinta yang berpaut danau persemayaman abadi
Sungguh betapa agungnya sebuah cinta
Bengkulu, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar