Edisi 1
Kaukah di puncak ombak yang gemuruh mengejar tebing batu
Sayupsayup lenguh angin menyimpan warna senja manakala matahari jatuh dalam pelukan bibir laut
Aku masih di sini tak ingin sedikit pun beranjak menatap seluasluas laut
Menatap sukmamu nun di kaki langit di putih buih ayatayat utsaha dharma
Sepiyangrisau sekeras jerit tebing batu di batinku
Menjadikan sukmaragaku luruh di pasirpasir
Buihbuih merajah seluruh tubuh
Angin yang melengguh di rambutku melaras mantram tri sandya
Aku yang kehilangan manusia di tubuh fana
Di goa yoga aku bersoja
Sekuntum kemboja kau sunting di telingakananku kau pasak sebutir beras di antara
ke dua keningku secupak air pura menyiram wajahku
Kau sucikan manusiaku yang berklesa
Tanah Lot ini memberi jendela kamar menatap seluasluas laut
Menatap sukmamu nun di kaki langit di putih buih ayatayat utsaha dharma
lumpur muntah manusia rakus
terus membuncah
kemana jerit mengadu duka
akankah berakhir derita ini
Dalam pedupaan malam
Agar angan anganku mencair
Tak pernah lagi menjadikan pudar kehidupan
Wanginya harum bibir pijar
Aku mendaki puncak letupan dadamu
Berpacu pada bubus asap nafasmu
Menguntai bara liar
Pada kamar nyala damar
Berturai menyibak kelam
Apa yang kau harap dari sembunyi
Inilah semata dusta semesta
Kau lepas burung burung di alir cahya
Selamat pagi wahai insan yang merindu
Persis seperti dulu
Seperti akan menjadikan aku kembali berdua
Yang masih jelas kau untai
Di dinding kamar ingatan
Dalam dosa dan doa
Tubuhmu luka
Gulita yang membungkus tubuh kita
Membungkus sekalian angan angan
Dalam kamar 3 X 3
Kehilangan cahaya
Tubuh nestapa
ke loronglorong cuma kosong ke padangpadang cuma ilalang ke batubatu cuma batu kupetik bintang cuma kunangkunang siapasiapa cuma dusta
Setelah itu tinggal bayang
Getar bibir : Tuhan jangan kau tinggalkan aku
Tenggelam ke dasar angan
Seperti seribu tahun
Musafir gila
Hampa semata
Engkau semata entah
Dalam entah aku menyeru
Semata hanyalah cuma
Saat kubuka jendela negri
Jendela hati sarat mimpi
Serupa kincir angin
Mataku jadi kaca
Menetes anak lelaki
Kehilangan ibubapa
Sudah makan buah mahoni
Tuhan tidak
Kau yang menanam di tubuhnya
Dipungutnya kembali lalu diterbangkan
Serupa kincir angin
Mencari kasih sayang
Di kamar kaca buram airmata
Kutulis namaku
Sampai teduh airmata
Kicau sesuka hati
Kini kau terbaring
Mimpi mengusik hati
Senja luruh lembayung sampaikah tak cuma
Kenari kepak sayap angin seribu langkah ranting bergoyang
Malam luruh kelamnya
Jalan tiada berujung
Kerlip bintang apa artinya
Kuasap dupa kembang setanggi
Kamar kenduri meracik mimpi
Di punggung kuda aku kehilangan peta
Bau keringat angkot yang melata dan dibalik gedung bertingkat rumahrumah kardus tumbuh di gurungurun dan bukit batu dan monas jadi berhala aku kehilangan Jakarta
Aku cari ciliwung tapi entah di mana
Aku cari saudara di mana kuburnya
Dalam pelana duka mencari Jakarta
Kakiku tumbuh roda pedati pada sebuah arca negri
Di kaca jendela orang orang merayakan hari ibu
Dikedalaman rindu aku mencari ibu
Kuucap salam tapi kau diam aku berharap kau cuma menatap
Di mana mana orang orang menjadikan berhala
Aku tak pernah lagi mau menyebutmu ibu karena kau kehilangan ibu
Anak anak negri tak pernah berhenti merajut mimpi
Melati yang kau tanam di taman hati
Bulan berenang di wajah Mahakam
Serupa arwana mengibasngibas ekornya
Membingkai di kaca serupa rupa
Kueja sederet kata memakna nama
Setiap tetes gerimis rindu terlukis
Tak mampu masuk ke dalam masa silam
yang terpendam dalam lipatan kelam
Melati kutafsir sebuah mimpi
Dari tulangbelulang galian sejarah nenek moyang
Anggang dijunjung tinggi di tiang balai
Adalah cinta negeri etam turuntemurun
Membaca rawi mantera yang telah diajarkan
tersurat di wajah Mahakam urat nadi gunung yang batu
hutan yang rimba bukit yang lembah
Gemerlap manik tudung saji jantungnya kota
Satu persatu lepas dari tubuhnya
Etam kehilangan tanah pusaka
Hutan yang menyimpan rimba luluh
Mahakam jadi kubangan tonggkang hitam
Wajahnya yang jernih hitam legam
Gelondong pohon serupa buayabuaya tenggarong
Karena kau halimatak yang tamak
Suatu masa etam menyempurnakan damak
Damak menyempurkan keadilan
Memandang rumah apung teringat tanah Banjar
Mekar senyum mengalir di alir Sungai Musi
Dan museum Sultan Mahmud Badaruddin II
Mencatat sejarah itu sejarah Sungai Melayu
Anak kecil nan elok lahir dari rahim Sungai Melayu
Di asuh putri cantik jelita Putri Ayu Sundari
Dan diasahasih Sang Sapurba juriat Iskandar Zulkarnain
Maka ramailah orangorang ke Palembang
Bukit Seguntang Mahameru :
Cindonyo rai cindo la kato bebaso dimano juo
Lalu aku berketek di dayu angin :
Sarumpun tanah malayu Ikatsimpul kita basatu
Hirukpikunya lalulalang di Sungai Musi
Orangorang bergegas membahasakan nasib jembatan itu
Seperti membahasakan nasib seorang tua yang renta
13)
: Dimas Arika Mihardja,Diah Hadaning, D.Kemalawati
Jadi sampan kasih sayang
Di alir musi dilabuhkan
Kayuh batin ke palingmuara
Sekali pun ajal tiba
Tak mampu menenggelamkan
Cinta yang telah dilabuhkan
Di sini, di ruh kita
Burung riang berlagu
Di kota Tebo
Berkayuh ketek di Danau Sigombak merdu kecipak ombak
Sekawan angsa putih terjun ke danau
Cahya pagi yang memantul di alir air kemilau
Risalah batin yang membentang langit biru
Kota yang memberi danau kemilau
Harumnya narasi pagi
Harum narasi pagi
Untaian zikir
Makam Sultan Thaha Saifuddin, kubaca sejarahnya
Seperti aku membaca Sultan Adam yang bermakam di hatiku
Negri seloka menyimpan tanah pilih
Di kedalaman jantungnya
Wajah tak pernah pupus dalam sanubari
Duduk bersimpuh masuk dalam percakapan batin saling merindu
Hari yang berjatuhan dan lenyap ditiup waktu tapi kau masih seperti dulu
Sahabatku : Ari Setya Ardhi
Ari Setya Ardhi
Tak pupus waktu
Danau Sigombak taman angsa angsa
Melahirkan cinta dan kasih sayang
Di kota Tebo
Kami tidur berdua satu jiwa
Memakna riwayat rindu kesumat
Tidakkah kau beri aku mimpi, jawabku
Kau mengakak purapura tak tahu
Aku mencuri intip
Dua bidadari mandi di Batanghari
Lan Lan dan Yessika adalah api katamu
Membakar kita terus berkarya
Pada sebingkai potret diri
Dilukis Nabila Dewi Gayatri katamu
Sungguh elok makna persahabatan
: Lis
Tanpa layar tubuh hanya semata dayung
Tak sekali panas tak sekali hujan
Dan tak pernah lagi menghitung entah berapa lengsernya malam lengsernya siang
Angin yang menggemuruhkan ombak tak sekali melempar ke tepian
Terus juga mencari muara di arus airmata
Adakah muara di kedalaman anganangannya
Kali Berantas yang semakin dangkal dan tanpa diduga meluap
Dan entah ke mana menyurutnya
Ada serupa dermaga di kaca jendela
Di kaca aku berkaca wajahmu luka
Kali Berantas menjadikan kamar ini danau riwayat
Dari keterasingan mata orangorang dari sebuah negeri yang gagal
Pada lembayung penghabisan kita tutup jendela
Tangan yang tak pernah terkulai mencari muara
Kali Berantas tempat berlabuh sebuah makna cinta
Membuka kunci risalah yang kukembojakan
Di wajahbatumu epitaf masa silam lalu membias
Tak sempat aduhku di buram kaca
Pelangi yang membusur ribuan warna
Aku hanyut dalam tembangnya
Kukatupkan mata menatap jambonnya
Menggali cinta dalam kamar hampa
Perempuan itu dalam tangis gerimis menatap anaknya
Tidur dalam pangkuanku
Anak puisiku masih lelap dalam dekap
Ibunya begitu pelan menutup gorden jendela
Agar kelopak kemboja tidak jatuh di keningnya
Laron merubung lampu kamar
Sayapsayap yang patah menggelepar
Luruh : Jangan kau padamkan pijar
Tangis duka cendana mencari makna
Bumi dan langit yang telah menjadi hampa
Sesudah itu kembali berpadu dalam pijar cahaya
Dalam aminku yang penuh
Kaca jendela cermin hati yang teduh
: Tatik
Kali Brantas mengaruskan seribu rahasia kehidupan
Menghanyutkan ke palinghilir
Membayangkan ruang kamar sebuah muara
Seperti halnya semesta dalam galau cuaca
Tak tahu lagi entah berapa senja sudah ada disini
Di batubatu kali bayang fatamorgana
Di kaca jendela seperti tangis dalam gerimis
Kehabisan airmata kehabisan katakata
Jangan biarkan tubuhmu jadi arca gelisah lukaluka jangan biarkan perih jadi abadi di batinku
Matamu kau jadikan gemintang di langitlangit kamar
Lalu menghapus beberapa nama dan menulis nama aslinya di dinding kamar :
Aku ingin pulang kehakikat perempuanku
dalam kamar meluput dari serbuan dingin
Kaca jendela bukan lagi kaca
Sehingga kebun teh membubung gumpalan uap putih puncak gemunung
Aku gelisah mencarimu tempat berdiang
Di bawah merkuri semacam ada lampu mengerdip
Tapi aku amat malas membeli api di sebuah vila
Masih berkongres berlanjut dengan seminar dan diskusi
Literatur dan literasi serupa burung kertas terbang melayang
Mereka membakar dirinya sampai jadi arang bahkan jadi abu
Ramai ramai melontarkan puisi sampai ke puncak Puncak
Halaman berupa padang rumput menjadi hijau lumut
Telah mencatat peristiwa itu dalam kitab khazanah kesastraan Indonesia
Eksplorasi dahaga sampai pagi membuka gorden jendela
Kaukah yang memancar nun di timur
Mengicaukan burungburung padang sunyi
Dalam renung di kedalaman diri
Dulang tak cukup mengitung tapakjejak pada jarak
Dan mata tak cukup pada batubatu ayatmu
Di dasar dukalara menatapmu di dinding kamar mendamar
Bergegas ke pintu jendela
Sampaikah doa
Tak habishabis renung pendosa
Sujud di kakinya
Saat menanti angin melintas wangi
Saat kucari harumnya kutengok cakrawala
Angan yang kulepas entah kemana lenyap
Kugali diri dalam buncah resah
Hanyut pada dinding kamar
Tibatiba tumpah di ubin lantai
Agar menghapus dahaga dosa
Dan bimbang setiap persimpangan
Raga dan jiwa semakin bersimpuh
Manakala semakin jauh
M’lintas kaca jendela
Kamar menyepi
Mengalir sampai tak berhingga
Menggali angan angan yang terpendam
Dalam misteri kehidupan
Misteri kehidupan
Kamar ekstase
Aku pun menggelepar dan jatuh
di ubinubin lantai
Tak sampai dari tangan
Kelam di nian
tubuhku begitu nista
Terdampar di tubuhmu
lalu tenggelam di lampu padam
Cuma kepak lelawa
Melintas kelam
Dan kamar tak ada lorong
Dinding batu
membuka gorden jendela :
Aku kehilangan tuhan
Jangan tinggalkan aku
Siluet malam
Melompat dari bukit
Malam menggigil
Demikian gemerisik rerumpun anggur
Jantungku mendebur
Dalam bayangan malam
Lengkingan sepi
Langkah apa yang membawaku kemari
Hingga tubuhku jadi kaku begini
Dua b’las bidadari
Memberi sebuah kamar
Kucium aroma mawar
Apakah kau akan sampai padanya
Menghela seperangkat usia
Aku tengadah menyusur jejak langkah
Jenggot semakin panjang
Tak mampu mewarna lain
Putih kian memutih
Kau kah di muara pintu senja
Di atas sukma sajadah
Zikir, aminkan fitrah
Wahai maha berkendara nur
Terima kasih kau pinjamkan lagi diriku
Kembali musafir menyukur nikmatmu
Di ujung gemerisik daunmu
Tetes embun di jiwaku
Melapangkan langkah tapakjejakku
Bulan kau cahyakan dalam mimpiku
Angin menjadikan napasku semilir
Riak ombak memakna laut anganku
Kupetik fajar di matamu
Yang kau tanam dalam kasihsayang
Pagi ini kubaca rawi : nyanyian seribu burung
Ini mahar dari nikah rindu katamu
Di kelopak kuncup bunga yang memerkah
Sebelum lepas dari tangkai waktu
Kujadikan tinta catatan pengembaraan
Kapal yang bertolak di luasnya lautan
Adalah nikah kita dalam rindu dendam
Melunas rindu dendam kita sayang
Saat ingin berbaring
Entah apa tibatiba bulan di kaca jendela
Dan kulihat sekuntum mawar di vas bunga
Tak tercium lagi aroma harumnya
Dan mabuk dalam kristal mimpi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar