Edisi 5
Kamar 221
Wajah lekat di dada basah air mata
Rambut menggerai duka setiap derai kata
Dekapan erat dengan pejaman mata
Kutulis setiap hembus nafasnya
Perempuan mana yang tiada jatuh dari nestapa
Manakala terlempar dari pintu kehidupan cinta ?
Aku berkata saat di luar kamar deru langkah kota :
Tidaklah bernama perjuangan bila tidak ada pengorbanan
Maka kubaringkan tubuh yang sarat riwayat itu
Di ranjang kasih sayang ditidur yang tenang
Kubuka gorden kaca jendela tampak seraut bulan
Dan setangkai bunga mekar di sana
Tangerang, 2014
91
Melodis Antara Cianjur - Ciamis
Jalan itu bernama Munir di pusat kota
Aktivis HAM yang dibunuh pada zaman rezim Suharto
Dan tak tuntas di zaman SBY
Tak ada pepohonan di kanan kiri jalan
Semata rumahrumah batu dan gedung
Keringat angkot yang berlalu lalang
Melintas waktu
Lereng Gunung Padang mataku jadi menghijau
Dedaun pepohonan menggesek rebab
Rerumputan perdu memetik kecapi
Dan begitu takjub di semilir angin :
Angkatna ngagandeuang
Bangun taya karingrang
Nganggo sinjang dilamban
Mojang Priyangan
Hati bergetar mengenang masa lampau
Berlari mengejar bayang yang terpisah dari diri
Jiwa yang
musafir ke mana rindu ke mana langkah
Tenggelam dan hanyut mencari muara kasih :
Umat imut lucu,
Sura seuri nyari
Larak-lirik keupat
Mojang Priyangan
Mataku pun terpejam masuk dalam gemuruh jiwa
Menafsir suratan kehidupan di jejak langkah
Di matamu dalam seribu bebayang
Matamu mojang :
Diraksukan kabaya
Nambihan cahayana
Dangdosan sederhana
Mojang Priyangan
Dendang itu terus juga didengangkan angin
Lirikliriknya serupa gerimis turun antara Cianjur – Cipanas
Membungkus kalbuku di taman bunga
Teringat Borneo saat angrekanggrek itu melambaikan tangan
:
Mojang anu donto
Matak sono nu némpo
Mun tepung sono ka
Mojang Priyangan
Tak bisa bicara lagi tentang Borneo
Karena lidah tak mampu lagi berucap banyak
Dalam lubang kubangan tambang dan padang ilalang
Hutan yang telah
kehilangan nyawa
Cianjur – Ciamis mataku terpejam dalam gemuruh jiwa :
Gareulis maranis
Disinjang lalenjang
Éstu surup nu némpo
Mojang Priyangan
Mojang Priyangan tersenyum manis
Bunga mekar di dalam taman
Antara Cianjur dan Ciamis
Kan kusimpan dalam kenangan
Cianjur, 2014
92
Seolah Olah Banjir Sudah Hal Yang Biasa
Pantura ditutup
Terjebak 36 jam pada lereng gunung
Jalan licin dan becek
Tidak kurang 25 km barisan mobil muka belakang
Serupa kurakura beringsut menapak jalan
Hujan terus berjatuhan tak henti
Perkampungan yang dilalui mobil bagai kerbau berkubang
melenguh suara yang serak
Entah beberapa puisi kubaca membunuh kerisauan
Sampai air liur muncrat di kaca jendela
Pada sebuah kota
Sawah jadi lautan dan gubuk mengapung
Rumah kantor pertokoan pasar di gigir jalan tak lagi
berpenghuni
Mobilkobil serupa perahu dan ikan lele
Orangorang hanya mengeluh dan pasrah pada nasib
Tetapi adakah yang berpikir bagaimana dahsyatnya
akibat banjir
Lalu menyadari kenapa terjadinya banjir
Sungguh eronis bila kita menyalahkan alam tak ramah
Dari kaca jendela mobil
Rakitrakit penuh muatan orang
Rakitrakit yang memberi keuntungan
Pada sebuah kehidupan di musim banjir
Indramayu, 2014
93
Rumah Fana
Setiap ke jendela yang
sudah lama tak berdaun
Mesti terlihat bayang
di sana
Senja yang terus saja bersenja
Dan setiap menafsir bayang itu
Matahari selalu lengser
di ufuk mata
Bayang itu berjalan
menghitung langkah berapa sudah
Menghitung denyut nadi di alir darah
Pada jalan yang di jalani tak pasti laratnya
Sebab tak bersebab
selalu entah
Menatap diri di
dasar usia
Rumah tua yang tak lagi berdaun jendela
Bayang adalah
penghuni fana
Mesti rumah tua berumah ke perut bumi
Cirebon, 2014
94
Kamar 2 A
Sampai pada terminal bus Terboyo
Aku melompat dari bus bagai seekor katak
Hujan gemuruh pada malam yang semakin kuyup
Pada sebuah warung yang remang aku perlu secangkir kopi
Dalam kamar hampir tak mengenal lagi
Siapa yang terbujur kaku di pembaringan itu
Cermin di dinding buram di cahaya lampu lima watt
Entah siapa yang mengetuk pintu
Di lubang kunci mengental aroma parfom
Karena tubuhku tak ubahnya sebentuk arca sunyi
Maka kubiarkan angin melata sepanjang malam yang kelam
Hujan terus juga menggelucak di luar
Dan dalam padaman lampu tentu terasa nikmat
Manakala tidur
tidak menggelisahkan sebuah mimpi
Semarang,2014
95
Kubaca Puisi : Ke Batas Cinta
Memanjat tiang kehidupan di puncak Gunung Tidar
Menyibak awangemawan dari langit yang muram
Jangan kau sembunyi jika kau adalah yang bernama cinta
Yang diam bersemayam di lubuk hatiku yang dalam
Kubaca puisi kubaca s’luruh isi jagat mimpi
Kubaca setiap angin semilir dari alir nafasku
Menapak lereng rindu tak letih memburumu
Sampai ke batas langit yang biru
Tersenyumlah sebab mesti tersenyum
Lereng dan tiang adalah tubuh dari ruh yang melayang
Melayang.
Kubaca puisi
Gunung Tidar seribu diam, diam diam memberi hakiki
kehidupan
Magelang, 2014
96
Saat
di Sebuah Kamar 097
Segelas
anggur
Kamar berupa rupa
Di bayang malam
Cahya yang melayang di pelupuk mata
Serupa kelap kelip
kunang kunang
Menyisir sepanjang jalan impian
Angin
rerimbun daun mengkudu
Serupa
tangis bayi kehabisan susu
Melata
di ubin lantai
Ke masa lampau
Malam sepi mendesau
Kesumat risau
Aku
tak berdua lagi pada
diriku
Denyut jam
dinding terasa kian
nyaring
Dan kamar kian berganti rupa
Di dinding kamar bayang bayang
Melukis jejak berlari kencang
Ada sekali angin mengetuk lawang
Segelas
anggur
Menutup pintu malam
Kamar impian
Purwokerto, 2014
97
Yogya,
1979
Tak pernah bermimpi atau pun berhayal
di candi Borobudur ini bersua dengan seorang wanita
yang sesungguhnya sebelumnya belum pernah aku kenal
Jujur di hati ini sudah lama ditinggalkan penghuninya
Sedikit pun tak ada lagi nuansa dan rasa yang bernama romantisme
Kemudian entah apa aku terperangkap dalam sebuah pelaminan
Kemudian sesudah itu aku bertakdir mencoba untuk memahami arti dan hakikat
sebuah cinta
Sampai pada beranak pinak
Yogya, 2014
98
Cermin di Segelas Anggur
Terperangkap
dalam segelas anggur
Akal
pikiran tenggelam di arus manis
Kehidupan
dunia cuma semata
Nafsunafsi
Nista
Kulihat
tubuhmu semakin rapuh
Tongkat
adalah tulang belulang
Tangan
adalah mata
Merabaraba
mencari tubuhmu
Dalam
kelapnya kalbu
Beri
aku terang bila masih pantas ya rab
Kembali
ke ayatayatmu
Kembali
kehakikat manusiaku
Surabaya-Malang,
2014
99
Kamar Rumah Bambu
Sudah lama tidak mendengar beduk
Tetapi setelah berada di dusun ini
Suara bertalu sangat menyentuh hati
Lembut syahdu tentram dan damai
Di mana beduk
Tak terdengar lagi
Jiwa yang syahdu
Banyak masjid atau pun surau melupakan beduk
Berganti dengan suara sirine
Acap kali aku dikejutkan suara sirine itu
Kusangka suara mobil ambulance atau mobil pemadam
kebakaran
Sejauh tatap
Petang di kala hening
Mengaca diri
Duduk di beranda rumah bambu
Petang memberi warna jambon dari puncak gunung dan turun
ke lembah serupa geliat ikan arwana di telaga biru
Dan hening menanti magrib dan tampak dari tebing batu air
pancuran
air memancur kemilau iman
Di gema beduk
Kusempurnakan wudhu
Pancuran iman
Dusun Pancur 13, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar